Friday, January 14, 2011

RG09... Antara Palestina dan Israel

 

Catatan Perjalanan Andi Suruji
Laporan wartawan KOMPAS Andi Suruji

Chairman Palestine Red Crescent Society (PRCS) Dr Younis Al Khatib (berhadapan dengan Jusuf Kalla) ketika menyambut rombongan Palang Merah Indonesia di halaman depan Markas PRCS, Rbu (13/10) di Al Bireh, Palestina.

Chairman Palestine Red Crescent Society (PRCS) Dr Younis Al Khatib berbincang dengan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla, di markas PRCS, Al Bireh, Palestina, Rabu (13/10).

Wartawan Kompas Andi Suruji turut serta dalam rombongan lawatan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla ke Jordania, Palestina, dan Israel, 13-20 Oktober 2010 lalu. Banyak cerita menarik dalam lawatan tersebut yang dituliskannya secara bersambung, mulai hari ini. Selamat menikmati.

* * *

Apa yang Anda bayangkan jika mendengar nama kota Jericho, Al Bireh, Ramallah, Jerusalem di Palestina, atau Tel Aviv di Israel?

Boleh jadi, yang paling pertama menyergap pikiran dan terbayang adalah perang, kekerasan, senjata, kerea kebal , tembak-menembak, bunyi mesingun, dan raungan siren tanda perang. Selain itu, mungkin juga terbayang sejumlah brigade , tentera dengan senjata lengkap siap perang ada mana-mana. Jam malam dan  penggeledahan ketat berulang kali oleh tentara terhadap setiap orang asing yang hendak masuk ke wilayah dua pihak yang masih terus berkonflik tersebut, Palestina dan Israel…?

Semua kesan dan citra itu mungkin benar semua, tetapi mungkin juga hanya sebahagiannya saja. Hal-hal  itu juga yang menggelayut dalam pikiran saya ketika ikut bersama rombongan Palang Merah Indonesia (PMI) dalam lawatan ke Palestina, 13-20 Oktober 2010.

Bayangan itu sudah mulai bermain-main di benak saya sejak di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Kadang ditimpali bayangan betapa menariknya liputan jurnalistik yang boleh saya tuliskan sekembali dari sana. Betapa tidak, selama ini perkembangan konflik Palestina-Israel hanya bisa diikuti dari berita-berita surat kabar, majalah, siaran televisi, internet. Tetapi saya coba "bunuh" pikiran itu dengan tidur sepanjang Jakarta-Dubai sekitar sembilan jam dalam pesawat Emirates, yang take-off pukul satu dini hari.

Rombongan PMI dipimpin langsung Ketua Umum PMI Muhammad Jusuf Kalla (JK). Ada juga Sekjen PMI Budi Adiputro, Wakil Sekjen Rapiuddin Hamarung, Staf PMI Irman Herman, relawan PMI Egy Massadiah, dan Adam Suryadi staf pribadi JK.

Mereka akan mengikuti acara 6th Annual Partnership Meeting Palestine Red Crescent Society (PRCS) di Albireh, Palestina. Acara ini diselenggarakan bulan sabit merah Palestina untuk mempertemukan pengurus organisasi sejenis dari berbagai negara yang selama ini memberikan dukungan bagi PRCS. PMI sendiri baru pertama kalinya diundang. Ini mungkin terkait dengan bantuan PMI senilai Rp 1 miliar kepada PRCS, ketika Chairman PRCS Younis Al Khatib berkunjung ke Indonesia dan bertemu JK di Jakarta sekitar dua bulan sebelumnya.

Delegasi PMI juga akan menghadiri 8th Asia Pacific Konference - International Federation Red Cross and Red Crescent Societies, 17-20 Oktober di kawasan wisata Laut Mati, Jordan Valley, Amman, Jordania. Kehadiran JK dalam forum ini, selain dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PMI,  juga karena sekitar bulan Juli 2010 dalam pertemuan palang merah dan bulan sabit merah se-ASEAN di Jakarta, JK ditunjuk sebagai koordinator palang merah dan bulan sabit merah se-ASEAN, yang dituangkan dalam Deklarasi Jakarta.

Sewaktu mengurus dokumen perjalanan, selain dokumen permohonan visa ke Kedubes Jordania, kami juga mengisi dokumen permohonan visa ke Kedubes Israel di Singapura. Untuk masuk Palestina, memang harus terlebih dahulu mendapat visa dari Israel.

Saya pun mendapat kabar bahwa sedang diatur pertemuan antara JK dan Chairman Magen David Adom (MDA) Israel, Noam Yfrach di suatu tempat dalam perjalanan kembali ke Jordania sepulang dari Palestina. MDA adalah organisasi semacam Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Hanya Israel satu-satunya negara yang organisasinya tidak menggunakan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, tetapi lambang kristal berwarna biru.

Sejenak saya membayangkan pertemuan Ketua PMI dan Chairman MDA tersebut tentu menjadi berita bagus, sekaligus bisa menimbulkan reaksi di Jakarta. Maklum, antara Indonesia dan Israel belum ada hubungan diplomatik sampai saat ini. Meskipun saya belum mengonfirmasikan soal ini kepada JK, namun saya sudah bisa menduga jawabannya, bahwa PMI adalah organisasi independent yang mengusung misi kemanusiaan. Tidak ada sekat-sekat politik manakala orang berbicara kemanusiaan. Apalagi konflik Palestina-Israel menyisakan persoalan kemanusiaan, seperti korban perang dan pengungsi.

http://internasional.kompas.com/read/2010/10/28/17392020/Antara.Palestina.dan.Israel..1.


Kebiasaan Jusuf Kalla di setiap bandara adalah memasuki toko buku, membeli bahan bacaan.

Wartawan Kompas Andi Suruji turut serta dalam rombongan lawatan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla ke Jordania, Palestina, dan Israel, 13-20 Oktober 2010 lalu. Banyak cerita menarik dalam lawatan tersebut yang dituliskannya secara bersambung. Selamat menikmati.

* * *

Tidak banyak waktu di Bandara Dubai, hanya sekitar dua jam transit sebelum melanjutkan penerbangan ke Jordania. Kami hanya mengantar JK jalan-jalan. Seperti kebiasaannya, sasaran utama jika mampir di suatu bandara adalah toko buku, setelah  itu cari kafe sekadar menyeruput cappuccino panas. Di toko buku itu, dia membeli majalah "The Economist" dan sebuah jurnal "Foreign Affair" edisi Oktober/November. Kebetulan, laporan utamanya memang cukup menarik, mengenai Timur Tengah, "Remaking the Middle East". Ada pula laporan soal "How to Handle Hamas", "Legitimizing Israel's Bomb", dan lainnya. 

Setelah istirahat sejenak di Bandara Dubai yang megah, rombongan melanjutkan penerbangan menuju Bandara Internasional Queen Alia di Amman, Jordania yang ditempuh sekitar 2,5 jam. Setiba di Bandara Ratu Alia, rombongan dijemput Duta Besar RI Jordania dan Palestina, Zainulbahar Noor. Setelah proses imigrasi, penjemput dari KBRI kemudian mengantar kami ke wisma Indonesia untuk makan siang bersama.

"Inilah kesalahan yang sering saya jumpai kalau berkunjung ke luar negeri. Kita sering disuguhi makanan Indonesia juga. Padahal, sebaiknya menyuguhi kita makanan khas setempat," ujar JK mengomentari masakan Indonesia yang dihidangkan ibu-ibu staf Kedubes.

Waktu beristirahat di Wisma Indonesia cukup lama. Tetapi, sekaligus menimbulkan ketidakjelasan waktu melanjutkan perjalanan ke Al Bireh, Palestina. Ketegangan mulai menyergap kembali karena beberapa kali skenario perjalanan berubah.  Staf Kedubes Jordania berkali-kali melakukan hubungan kontak telepon, entah dengan siapa. Yang pasti, terdengar mereka membicarakan skenario perjalanan. Bagaimana pun protokoler bagi JK masih harus tetap ketat dan standar tinggi. Maklum, ia bukan hanya sebagai Ketua Umum PMI, tetapi juga Wakil Presiden RI 2004-2009.

Dalam perjalanan ini, JK memang sama sekali tidak mengikutsertakan ajudan maupun pengawal dan pasukan pengamanan. Padahal, sesuai protokoler, ia sebenarnya berhak mendapatkannya dan harus ditanggung negara dalam hal pengamanan pribadi mantan orang nomor dua di Indonesia itu. Apalagi yang hendak dikunjungi adalah wilayah konflik, zona perang. Tetapi itulah JK, sederhana, simpel, maunya praktis, dan cepat bergerak.

Dalam perjalanan kali ini, sebagaimana biasanya juga yang dilakukan, JK hanya didampingi staf pribadinya, Adam Suryadi. Karena masing-masing orang punya bawaan sendiri-sendiri, tidak jarang JK harus menarik sendiri koper kecilnya. Di dalamnya terdapat dokumen, buku, dan alat kesayangannya yang selalu melekat dengannya belakangan ini, yakni mainan baru iPad. Dengan alat inilah JK bisa memantau berita-berita yang terjadi di seluruh penjuru dunia, maupun perkembangan situasi dan kondisi terkini di tanah air.

Meskipun baru pertama kali dalam hidupnya melakukan perjalanan ke Palestina dan Israel, juga Jordania, JK yang telah berpengalaman menangani persoalan konflik sampai masuk ke pelosok desa-desa konflik, terlihat tetap tenang dan santai. "Prinsip saya itu apa pun yang kita hadapi, nikmati saja. Cuaca panas, ya nikmati, cuaca dingin ya nikmati, giliran bicara nikmati, giliran mendengar ya nikmati. Dengan demikian, kita rileks," katanya.

Ia malah banyak bercerita tentang pengalamannya menangani konflik. Ia tidak banyak bertanya, tetapi lebih banyak mendengar laporan dari Dubes mengenai perkembangan Timteng, khususnya Palestina-Israel.

Beberapa kali waktu keberangkatan dibicarakan, diundur, dimajukan, diundur lagi. Dalam ketidakpastian itu, JK terlihat santai-santai saja, bahkan ia menggunakan kesempatan itu untuk berbicara secara santai dengan para staf KBRI. JK mendorong para diplomat muda untuk benar-benar memahami bidang tugasnya, meningkatkan pelayanannya kepada warga negara Indonesia yang membutuhkan bantuan di negeri orang. Berbagai pengalaman diplomasi yang dilakukannya semasa menjadi menteri maupun saat menjadi Wakil Presiden RI 2004-2009, yang bersifat memotivasi, diceritakan kepada diplomat-diplomat muda tersebut.

Setelah ada kepastian keberangkatan, dan ternyata masih ada waktu yang cukup, sekitar satu setengah jam lagi, "Kalau begitu saya tidur dulu," katanya ketika diberitahu jadwal perjalanan diundur lagi satu setengah jam.

Menanggapi skenario perjalanan yang berubah-ubah terus, setelah dimajukan lalu diundur lagi, JK tenang saja.  "Memang harus begitu. Kalau kita dalam perjalanan seperti ini, jadwal berubah-ubah itu tidak soal. Malah lebih bagus. Kalau ada penembak gelap kan bisa meleset," ujar JK berseloroh.

http://internasional.kompas.com/read/2010/10/29/16050971/Antara.Palestina.dan.Israel.2



Menara pengintai milik Israel di wilayah perbatasan

Wartawan Kompas Andi Suruji turut serta dalam rombongan lawatan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla ke Jordania, Palestina, dan Israel, 13-20 Oktober 2010 lalu. Banyak cerita menarik dalam lawatan tersebut yang dituliskannya secara bersambung. Selamat menikmati. * * *

Tidak sampai satu jam naik mobil dari Amman, kami sudah sampai di check point King Hussein Bridge di  perbatasan wilayah Jordania-Israel. Sebelumnya, terlihat beberapa barikade di jalan yang dijaga aparat keamanan. Dua-tiga pos mesti disinggahi untuk pemeriksaan, ada pula yang sekadar dilalui saja.

Di check point King Hussein Bridge, paspor, visa dan barang bawaan diperiksa aparat Jordania. Tetapi rombongan PMI tidak ada masalah karena ada staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengantar dan mengurus perjalanan kami.

Fasilitas check point ini sangat sederhana. Ada alat pemeriksaan barang, tetapi tidak difungsikan untuk rombongan PMI. Selain itu, ada perusahaan penukaran uang, penjual kartu perdana dan pulsa telepon seluler Zain Jo (Jordan). Ada juga kios penjual rokok, permen, dan kopi. Di luar gedung milik pemerintah Jordania itu, ada toko bebas bea (duty free).

Diplomat dan staf KBRI di Amman, hanya bisa mengantar rombongan PMI sampai di check point King Hussein Bridge. Itu karena tidak ada hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel. Dari sini, rombongan PMI naik bus dan taksi sewaan untuk JK menuju Alan Bay, check point  pihak Israel. Antara King Hussein Bridge dan Alan Bay, kami seperti "tahanan" lepas. Karena staf KBRI tidak bisa mengantar, mereka meminta bantuan diplomat Filipina dari Tel Aviv untuk menjemput dan mengantar rombongan PMI menuju check point Alan Bay. 

King Hussein Bridge dan Alan Bay, sebenarnya bisa ditempuh hanya sekitar setengah jam, tetapi karena beberapa kali singgah di pos kontrol penumpang pelintas batas, maka perjalanan menjadi lebih lama.

Dari jauh gedung megah itu sudah terlihat, dengan lambaian bendera Israel yang menjulang ke langit, Pos Alan Bay terlihat lebih mewah dan lebih besar, lebih bersih juga. Walaupun ada aparat keamanan, tentara, namun tidak terlihat di dalam gedung ini. Mungkin mereka "bersembunyi" dalam ruangan-ruangan dan setiap saat bisa keluar secepat mungkin manakala diperlukan, kalau ada "gangguan" keamanan, misalnya.

Fasilitas yang ada di dalam gedung pos Alan Bay ini, seperti penukaran uang, toko, konter pemeriksaan keimigrasian, pun  jauh lebih mewah dan bersih ketimbang yang ada di pos King Hussein Bridge. Satu hal yang juga sangat mencolok perbedaannya adalah pekerjanya. Kalau di King Hussein Bridge semuanya laki-laki, di Alan Bay kebanyakan perempuan.

Rombongan penjemput dari Palestine Red Crescent Society (PRCS) ternyata sudah menunggu di sana. Meskipun dijemput staf PRCS, pemeriksaan tetap melalui proses seperti biasa, sebagaimana orang asing memasuki suatu negara. Barang bawaan masuk mesin pendeteksi metal. Pemeriksaan badan lebih ketat. Semua barang metal, termasuk ikat pinggang dan cincin serta sepatu harus dicopot selama masih menimbulkan bunyi. Pendeknya, selama masih ada yang bunyi kalau melintas di pintu detektor itu, harus keluar lagi memeriksa kantong dan segala macam yang menimbulkan bunyi.  "Seandainya gigi palsu kita bisa menimbulkan bunyi, mungkin mereka minta juga kita lepaskan," begitu komentar Egy Massadiah, relawan PMI.

Di pos King Hussein Bridge, kami tidak perlu antre menghadapi petugas imigrasi. Semuanya dibereskan staf KBRI. Kami lebih banyak sibuk mengurus kartu perdana dan membeli voucher pulsa di konter operator telepon seluler Jordania, Zain Jo. Maklum, staf KBRI pun tidak bisa memberi gambaran soal kemudahan komunikasi di Palestina. Namun ia mengatakan bahwa Zain Jo pun bisa dipakai di Palestina. Karena itu kami berebutan membeli kartu perdana.

Sementara di Alan Bay, kami harus antre menghadap satu per satu petugas imigrasi yang semuanya perempuan. Rombongan PMI diberi konter khusus dan didahulukan dari rombongan lain. Tetapi tidak ada pertanyaan saat pemeriksaan visa. Petugas hanya sesekali menatap wajah kami, mencocokkan dengan foto yang ada di visa, paspor dengan wajah asli kami. Dingin....!

Satu-satunya pertanyaan dari petugas imigrasi Israel, hanya ditujukan kepada Adam Suryadi, staf khusus JK. Itu pun cuma soal nama ayah kandungnya. Adam terlihat agak gugup. Namun sesaat kemudian, bunyi stempel berdentum. Dia pun lega.  "Alhamdulillah, Maafi muskila (tidak ada persoalan)," katanya.

Visa yang kami kantongi dari Jakarta (diterbitkan Kedubes Israel di Singapura) hanya ditempel pada selembar kertas putih ukuran kwarto. Di kertas itulah petugas imigrasi menstempel dan memberi cap, tandanya  kami sudah memakai visa itu dan telah melalui pemeriksaan. Jadi  bukan paspor kami yang distempel

http://internasional.kompas.com/read/2010/11/01/15011869/Antara.Palestina.dan.Israel.3


Di wilayah perbatasan Palestina yang dikuasai Israel terdapat kawasan militer yang terlarang bagi masyarakat umum untuk memasukinya

Wartawan Kompas Andi Suruji turut serta dalam rombongan lawatan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla ke Jordania, Palestina, dan Israel, 13-20 Oktober 2010 lalu. Banyak cerita menarik dalam lawatan tersebut yang dituliskannya secara bersambung. Selamat menikmati. * * *

Setelah melalui pemeriksaan, satu per satu anggota rombongan keluar ruangan. Beberapa pelintas batas, yang tampaknya seperti wisatawan,  agak heran melihat rombongan PMI itu mendapat perlakuan khusus, didahulukan pemeriksaan dokumennya. Di luar ruangan check point, staf Palestine Red Crescent Society (PRCS) sudah menunggu. Rombongan naik bus berukuran sedang, sementara JK naik jeep milik PRCS.

Hanya berselang sepuluh menit selepas pos imigrasi, ada dua pos pemeriksaan yang mesti disinggahi sopir untuk menunjukkan identitasnya berikut jumlah penumpangnya. Penumpang hanya memegang dua lembar kertas kecil yang diperlihatkan kepada petugas di dalam pos. Tidak ada komunikasi intensif.

"Mereka mengawasi kita, jangan-jangan ada penumpang selundupan," kata supir bus tersebut.

Paspor dan lembaran visa tidak diperiksa. Tetapi setiap kali ada penyetopan untuk pemeriksaan, dengan sigap pula kami mengeluarkan dokumen perjalanan itu dari kantong atau tas. Begitulah petunjuk yang kami terima dari staf PMI. Kami jadi paranoid.

Meski demikian, naluri kewartawanan saya sudah bergejolak ingin memotret setiap momentum, seperti halnya pemeriksaan yang berulang-ulang itu. Akan tetapi, sejak dari Jakarta sudah diwanti-wanti agar wartawan kooperatif, tidak terlalu mencolok menampakkan identitas kewartawanan. Pendeknya, anggap sajalah semua anggota rombongan adalah pengurus PMI. Jangan sampai hanya gara-gara memotret atau merekam dan tentara Israel tidak berkenan, lantas perjalanan menjadi terganggu. Apalagi rombongan ini dipimpin JK, yang nota bene mantan Wakil Presiden. Kalau terjadi masalah dalam perjalanan, bisa-bisa menjadi berita besar.

Tetapi dasar wartawan, saya tetap mencuri-curi kesempatan untuk memotret. Saya teringat pengalaman saya di Almaty, Kazakhstan, beberapa tahun lalu. Waktu itu saya hanya memotret dua gedung yang berdampingan. Satu gedung tua hampir rubuh dan satu lagi di sampingnya gedung baru. Naluri saya mengatakan foto itu pasti bagus untuk menggambarkan geliat pembangunan Almaty, ibu kota lama Kazakhstan, yang lebih modern. Namun, ternyata di dalam gedung baru itu berkantor Kedutaan Besar Amerika Serikat. Rupanya saya tertangkap CCTV, lalu "diinterogasi" dan bertengkar dengan petugas keamanan gedung.

Ketegangan sedikit terjadi ketika di pos ketiga. Dua orang tentara Israel yang kelihatan masih muda – umumnya tentara penjaga pos relatif berusia muda -- dengan senjata lengkap, menyetop kendaraan kami.  Salah seorang menghampiri sopir di sisi kiri mobil. Entah apa yang mereka katakan. Karena terjadi diskusi, tentara yang satunya lagi mendekat pula. Tetapi penjelasan yang diberikan salah seorang staf PRCS dalam bahasa Inggris jelas terdengar bahwa kami serombongan dengan mobil yang ditumpangi JK, yang sudah diperiksa terlebih dahulu dan telah melaju di depan. "Kalau tidak percaya, kamu bisa telepon mereka," ujar perempuan staf PRCS tersebut, dengan nada suara yang agak tinggi.

Tanpa bicara, tentara itu  melongok masuk ke dalam mobil dan menyapu semua wajah-wajah yang ada di dalam mobil. Tanpa kata-kata, apalagi sapaan ramah selamat datang misalnya. Dingin...! Hanya kepala tentara itu digelengkan lalu mundur selangkah, pertanda kami boleh melanjutkan perjalanan. Sopir mobil kami mengejar Jeep yang ditumpangi JK, dan akhirnya bisa menempel terus, tanpa diselingi kendaraan lain.

Tidak jauh dari pos pemeriksaan kendaraan dan penumpang serta dokumen perjalanan, di sisi kiri jalan terdapat jalan kecil dengan papan peringatan yang dicat merah. Kondisinya sudah lusuh, entah tahun berapa dipasangnya. Cat merahnya sebagai dasar papan peringatan itu mulai terkelupas, demikian juga cat tulisannya yang berwarna putih mulai terkelupas. Tulisan peringatan itu ditulis dalam tiga aksara, yakni Israel, Latin, dan Arab dalam bahasa Israel, Inggris, dan Arab. Bunyi peringatannya; "Military Zone -  No Entry"

Jelaslah bahwa kawasan itu merupakan wilayah kekuasaan militer Israel. Jalan yang membentang di samping papan itu tampak rata, membentuk semacam batasan, atau juga bisa semacam jalan untuk patroli perbatasan. Apakah di area itu sudah ditanam ranjau-ranjau sehingga jika ada orang yang masuk dan melewati kawasan itu bisa-bisa meledak. Atau sekadar peringatan "gertak" saja, padahal di bawah tanah itu tidak ada apa-apanya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa menjelaskan.

Beberapa kali kami melihat papan petunjuk arah menuju Jericho, Ramallah, dan Jerusalem. Kiri kanan jalanan yang mulus itu terlihat kawasan gersang, sesekali kami menjumpai pemukiman yang tidak terlalu banyak. Umumnya rumah bertingkat berbentuk kotak seperti rumah susun.

Kendaraan yang melintas di jalan raya, umumnya merek-merek Korea Selatan. Sesekali melintas Jeep buatan Amerika, atau Land Rover. Jarang sekali ada merek Jepang. Jalan raya semuanya mulus, berkelok-kelok, dan naik turun. "Ini kawasan perang tapi jalan rayanya mulus sekali. Di Indonesia yang tidak ada perang, jalan raya antarkotanya hancur," batin saya.

http://internasional.kompas.com/read/2010/11/02/1759158/Antara.Palestina.dan.Israel.4

Al Bireh dan "Bunyi Tembakan"


Pemandangan kota Al Bireh di waktu siang
KOMPAS/ANDI SURUJI
Pemandangan kota Al Bireh di waktu malam

Wartawan Kompas Andi Suruji turut serta dalam rombongan lawatan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla ke Jordania, Palestina, dan Israel, 13-20 Oktober 2010 lalu. Banyak cerita menarik dalam lawatan tersebut yang dituliskannya secara bersambung. Selamat menikmati. * * *

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari check point Alan Bay dengan beberapa kali pemeriksaan, rombongan PMI memasuki kota Al Bireh, yang sering disebut dengan kota kembarnya Ramallah. Kota itu tidak terlalu ramai, bahkan cenderung sepi, tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sebagai kawasan perang, kecuali check point di luar kota yang diawasi tentara Israel.

Sepanjang perjalanan, kendati berkelok-kelok, menanjak dan menurun, kondisi jalan raya sangat mulus. Di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan, tampak pemukiman tidak padat. Bahkan jarang sekali ditemui pemukiman yang berada persisi di pinggir jalan. Sekiranya jalan raya tidak sepi, mungkin perjalanan dua jam itu akan terasa sangat membosankan.

Itulah sebabnya muncul pertanyaan di benak saya, mengapa di negeri yang dilanda perang ini kondisi jalannya mulus sekali. Kebalikan di Indonesia, yang notabene tidak ada perang sehingga bangsa ini punya kesempatan membangun infrastruktur dengan tenang, kondisi jalan raya antarkota dan antarprovinsinya umumnya hancur. Ah secara kasat mata mungkin bisa dijelaskan dengan alasan bahwa jalan raya di Palestina itu dibangun sesuai peruntukan, sesuai kondisi tanah, sesuai dengan volume lalu lintas hariannya.

Sinar matahari senja menyiram bumi ketika kami mulai memasuki Al Bireh. Di sisi kiri dan kanan jalan terlihat bangunan yang yang umumnya berkotak-kotak dan bertingkat. Tampak kokoh. Lalu lintas tidak terlalu ramai. Dari jauh sudah terlihat tulisan Palestine Red Crescent Society (PRSC) yang berwarna merah pada sebuah gedung tinggi. Tanpa dijelaskan, kami sudah tahu kalau itu markas bulan sabit merah Palestina. "Di sisi kiri itu gedung PRCS, tetapi kita harus berputar dulu," kata sopir.

Wah…! Dari luar pun gedung markas PRCS tampak lebih bagus ketimbang Kantor Pusat Palang Merah di Jalan Gatot Subroto. Jarak dari pagar dan pintu gerbang di pinggir jalan sampai pintu lobi kantor PRCS kira-kira 30-40 meter.  Di atas tanah itu dibangun seperti pelataran, namun dibikin bersusun dengan dua tangga.

Di bagian depan pelataran itulah Chairman PRCS Younis Al Katib  menyambut rombongan PMI yang dipimpin Ketua Umum PMI Jusuf Kalla (JK). "Assalamu alaikum, ahlan wasallan," adalah kata-kata yang akrab diucapkan dan terdengar. Segelas minuman dingin air jeruk yang disuguhkan tuan rumah di lobi gedung cukup menyegarkan tenggorkan.

Semula saya kira, romongan hanya mampir ke Markas PRCS itu untuk "say hallo" kepada tuan rumah. Ternyata tidak. Di sana pula rombongan ditempatkan menginap, termasuk Jusuf Kalla, selama berada di Al Bireh 13-16 Oktober 2010. Gedung Markas PRCS ternyata memang dibangun untuk berbagai keperluan. Kantor, ruang-ruang pusat rehabilitas mental dan fisik, ruang belajar bagi anak-anak pengungsi dan anak-anak yang memerlukan perlakuan khusus (difabel), ruang seminar dan pelatihan, bahkan gudang logistik di lantai basement di bawah lobi sangat luas. Kami diberi kesempatan meninjau seluruh fasilitas yang ada di gedung PRCS tersebut, berikut aktivitas-aktivitasnya. Fasilitas PRCS itu, selain untuk melayani masyarakat yang langsung dating, juga menerima pasien yang dirujuk dari berbagai rumah sakit.

Gedung PRCS memang cukup tinggi berlantai 11. Dibangun pula di posisi tanah yang tinggi, maka semakin menjulanglah gedung itu. Ketika kami ditempatkan di lantai 10, maka kami bisa menikmati pemandangan kota Al Bireh dengan leluasa. Terutama di malam hari, lampu-lampu penerang dan penghias kota dan seisinya menjadi indah.

Mungkin karena sejak semula bayangan Palestina adalah kawasan perang, sehingga ketika ada sedikit saja keributan, secara refleks kami keluar ke balkon untuk mencari sumber suara. Begitu juga ketika malam sudah mulai sunyi, tiba-tiba terdengar bunyi dentuman yang keras silih berganti, bersahutan. Kadang bunyinya berdentum sesekali, kadang pula seperti bunyi rentetan peluru yang ditembakkan.

"Ada bentrokan bersenjata, mereka perang," kata Egy Massadiah, relawan PMI.

Spontan saya mengambil kamera dan keluar ke balkon mencari sumber suara. Ternyata sumber suara itu ada sekitar 700 meter di depan jendela kamar saya. Ah, ternyata bukan perang, bukan pula bentrokan bersenjata, tetapi sekelompok orang berpesta kembang api. Ah, saya jadi "parno". Antara ketakutan dan keinginan merekan peristiwa itu.

Sebelumnya, ketika kami pergi menghadiri jamuan makan malam PRCS di salah satu restoran yang menyajikan makanan khas Palestina, di tengah jalan kami pun dikejutkan "keributan" sekelompok pengendara mobil. Para pengendara itu benar-benar membuat kegaduhan di jalan. Mereka membawa mobilnya melaju cukup kencang berombongan, dengan silih berganti membunyikan klakson mobilnya bersahut-sahutan. Waktu itu saya pikir terjadi kejar-kejaran antara tentara Israel dan pejuang Palestina. Ternyata, rombongan pengantin….! Nah rombongan bermobil inilah yang keliling kota mengarak pengantin dan berpesta kembang api di sudut-sudut jalan yang mereka suka…!

http://internasional.kompas.com/read/2010/11/03/16333862/Al.Bireh.dan..quot.Bunyi.Tembakan.quot.

__._,_.___
Recent Activity:
" Minuman para Anbia :  http://higoat-2009.blogspot.com/"

" Anda masih mencari jodoh? Lawati http://www.myjodoh.net"

" Kertas Soalan Ramalan Matematik 2010 :  http://maths-catch.com/exam"



Terima kasih kerana sudi bersama kami. Untuk mendapatkan maklumat lanjut tentang ReSpeKs Group, sila ke : http://respeks-group.blogspot.com

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment