Tuesday, January 25, 2011

RG09... Beriman Tanpa Berpikir, Bagaimana Mungkin?

 

faith 300x224 Beriman Tanpa Berpikir,  Bagaimana Mungkin?

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Beginilah pengalaman Gary Gutting, seorang professor filsafat di University of Notre Dame, Amerika Serikat. Dia sedang mengajar mahasiswa di universitinya. Majoriti beragama Katolik. Dia bertugas mengajarkan filsafat. Salah satu tugas utamanya sebagai professor filsafat agama (philosophy of religion) adalah untuk mengajak mahasiswa berpikir tentang alasan mereka beragama.

Ada banyak metode yang ia terapkan. Salah satunya adalah mengajak mahasiswa membaca akbar, dan kemudian bertanya, "Dapatkah kamu melihat begitu banyak berita buruk di akbar, sambil tetap mempertahankan iman kepada Tuhanmu?" Juga Gutting suka mengajukan pertanyaan, "Bukankah agama itu tergantung pada tempat di mana kamu lahir? Jika kamu lahir di India, maka kemungkinan besar kamu akan beragama Hindu, bukankah begitu?"

Diskusi berjalan lancar dan menegangkan. Namun tiba-tiba seorang murid mengangkat tangan dan bertanya, "Bukankah agama itu soal iman, dan iman itu soal kepercayaan?" Jawaban itu seolah menuntaskan semua masalah yang muncul dalam perdebatan. Semua pihak puas terutama yang merasa nyaman dengan imannya. Percaya bagi mereka berarti tidak perlu menjelaskan mengapa mereka memeluk imannya.

Pengalaman Gutting itu rupanya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di UNIKA Widya Mandala, saya pun mengalaminya. Setiap menyinggung soal iman dan agama, mahasiswa menutup diri dengan berkata, "Kami sudah percaya kok." Padahal seturut dengan tradisi skolastik abad pertengahan, jawaban itu sama sekali tidak boleh dianggap tepat. Iman memerlukan dasar yang masuk akal.

Iman yang Diuji

Kembali ke cerita Gutting. Menanggapi ini ia biasanya berpendapat, "Bagaimana mungkin kamu puas dengan argumen itu? Bukankah kamu tidak akan membeli sebuah barang, hanya dengan mempercayai orang yang menjualnya? Bukankah kamu akan menguji barang tersebut, sampai kamu merasa layak membelinya?" Mengapa kita tidak menerapkan hal yang sama dalam soal iman? Bukankah lebih baik jika kita menguji dan mendalami iman kita tersebut, sebelum kita menganutnya, dan hidup dengannya?

Oke! Marilah kita menguji iman kita dengan argumen dan bukti-bukti ilmiah! Argumen pertama yang biasanya muncul adalah, "Jika Tuhan tidak ada, bagaimana mungkin menjelaskan keberadaan semua hal, dan bahwa dunia diatur dengan hukum-hukum alam yang begitu teratur?" Perdebatan memanas lagi dengan argumen tersebut. Mahasiswa tampak merindukan argumen tajam yang dapat memperkuat iman mereka. Hmm..

Tak beberapa lama kemudian, mahasiswa mulai penat. Mereka merasa tidak mampu memahami argumen abstrak yang mereka harapkan boleh memperkuat iman mereka. Mereka berhadapan dengan sebuah rahasia besar di dalam filsafat ketuhanan, bahwa tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh dapat membuktikan atau menolak adanya Tuhan secara rasional! Kata "iman", "percaya begitu saja", kembali terngiang di  telinga mahasiswa. Filsafat memang boleh menjadi alat untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Namun sayangnya filsafat pun tidak dapat memberikan kontribusi nyata untuk pengembangan iman. Hmmm.. apakah begitu?

Sewaktu saya kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta bersama Magnis-Suseno, kami sampai pada kesimpulan yang sama. Tidak ada satu pun argumen filosofis rasional yang boleh menolak atau memperkuat keberadaaan Tuhan secara total. Kiranya tak berlebihan jika dikatakan, perdebatan dimenangkan oleh kaum agnostik, yakni mereka yang berpendapat, bahwa manusia tidak pernah sungguh tahu perihal keberadaan Tuhan, apalagi menolak keberadaanNya.

Walaupun begitu kita tidak boleh beriman begitu saja, sama seperti kita tidak boleh percaya saja kata-kata orang jualan, tanpa sungguh memahami apa yang dijualnya. Dengan kata lain kita harus kritis. Jangan naif. Jangan mudah percaya. Orang yang mudah percaya, mudah juga ditipu. Anda mahu ditipu? Tentu tidak kan. Saya juga. Mereka juga. Siapa yang mahu ditipu? Saya pikir tidak ada. Maka kita perlu berpikir. Kita perlu bertanya soal iman kita, sampai kita memahaminya secara mendalam.

Filsafat dan Iman

Bagaimana cara memperkuat iman secara rasional? Gutting menyarankan agar kita membaca tulisan-tulisan para filsuf besar, seperti David Hume, Ludwig Wittgenstein, dan Alvin Platinga. Mereka sependapat bahwa kita hidup selalu dengan memegang kepercayaan yang tidak dapat kita jelaskan sepenuhnya secara rasional. Salah satu contohnya adalah, mengapa kita ngupil dengan tangan kanan? Hayooo… Juga apakah ingatan kita sungguh tepat? Atau yang lebih berat, apakah orang lain punya jiwa? Hmm.. berat bukan?

Kepercayaan naif tersebut datang dari pengalaman kita sehari-hari. Bagi Platinga kepercayaan naif ini mirip dengan kepercayaan kita pada Tuhan. Artinya kita tidak pernah boleh sungguh menjelaskannya. Kita hanya tahu bahwa itu benar. Titik. Tidak ada koma. Kita juga selalu tahu, bahwa suatu perbuatan itu baik, walaupun kita tidak boleh sungguh menjelaskannya. Kita juga selalu tahu, bahwa lukisan itu indah, tanpa pernah sungguh dapat menjelaskannya. Kita tahu cara mencintai, walaupun kita pernah dapat merumuskan apa itu cinta. Kita tahu bahwa kita bahagia, jika dicintai, walaupun kita tidak tahu sebabnya. Kita juga selalu tahu, bahwa ada sesuatu yang luar biasa besar dan agung di atas kita semua, walaupun kita tidak dapat sungguh menjelaskannya secara jernih.

Siapa yang dengan sok tahu bilang, bahwa semua kepercayaan kita itu hanya ilusi? Tentu saja argumen di atas masih terbuka untuk perdebatan. Semua yang keluar dari mulut manusia tidak pernah mutlak. Ini akan menjadi tema perdebatan yang menarik. Tentu juga argumen ini boleh menjelaskan, mengapa kita tidak pernah dapat secara jernih menjelaskan keberadaan Tuhan.

Namun itu kan soal Tuhan. Bagaimana soal agama dengan ajaran mutlak dan ritualnya yang suci? Bagaimana soal Tuhan yang sangat memperhatikan, apakah manusia menjalankan ritual religiusnya secara tepat, atau tidak? Tanpa ritual dan ajaran yang mutlak, agama tidak memiliki daya ikat. Tanpa daya ikat agama tidak akan dapat menjadi kekuatan sosial yang demikian besar. Jadi bukankah ritual juga penting?

Sulit untuk memberikan jawaban secara kritis dan rasional atas pertanyaan-pertanyaan itu. Teologi boleh memberikan jawaban. Namun teologi tanpa filsafat sama seperti sup tanpa garam. Ia kehilangan daya kekuatannya untuk mengubah. Ia hanya akan menjadi buih dogma yang ketat dan kejam, tanpa ada pendasaran yang masuk akal dan mengundang orang untuk memahami, bahkan mencintai.

Lalu bolehkah kita beriman tanpa berpikir? Jawabannya tidak. Agama dan teologi menyediakan iman. Filsafat menyediakan kemampuan berpikir yang kritis dan mendalam. Filsafat, agama, dan teologi adalah teman seperjalanan yang tidak selalu cocok. Namun percakapan di antara ketiganya tidak boleh berhenti. Orang yang mengaku beriman dan beragama juga harus memikirkan dan menguji secara mendalam iman dan agamanya. Filsafat boleh menjadi alat uji dan alat berpikir yang tajam dan mencerahkan. Ini rupanya yang menjadi komitmen Gutting, ketika mengajar. Komitmen yang juga akan saya ikuti dengan kesungguhan. ***

Pustaka Acuan:

Gary Gutting, Philosophy and Faith, New York Times on line 1 Agustus 2010.

Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Gambar dari http://www.vistawallpaper.org/vista-wallpapers/faith.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

http://www.dapunta.com/beriman-tanpa-berpikir-bagaimana-mungkin.html

__._,_.___
Recent Activity:
" Minuman para Anbia :  http://higoat-2009.blogspot.com/"

" Anda masih mencari jodoh? Lawati http://www.myjodoh.net"

" Kertas Soalan Ramalan Matematik 2010 :  http://maths-catch.com/exam"



Terima kasih kerana sudi bersama kami. Untuk mendapatkan maklumat lanjut tentang ReSpeKs Group, sila ke : http://respeks-group.blogspot.com

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment